Di Balik Sorak Sorai: Saat Kesehatan Mental Atlet Indonesia Mulai Dibicarakan
Di Balik Sorak Sorai: Saat Kesehatan Mental Atlet Indonesia Mulai Dibicarakan

Di Balik Sorak Sorai: Saat Kesehatan Mental Atlet Indonesia Mulai Dibicarakan

andreeagiuclea – Dalam dunia olahraga, kita terbiasa merayakan kemenangan, memuja juara, dan mengidolakan performa luar biasa di atas lapangan. Namun, ada sisi lain yang jarang tersorot kamera: perjuangan mental para atlet. Di Indonesia, isu kesehatan mental dalam kalangan atlet masih tergolong tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Padahal, tekanan mental yang dialami para atlet tidak kalah berat dibandingkan fisik mereka yang terus ditempa latihan.

Para jurnalis olahraga perempuan mulai mengambil peran penting dalam membuka diskusi ini. Mereka tidak hanya fokus pada skor dan statistik, tapi juga menggali kisah di balik wajah tegar para atlet. Dari sinilah percakapan tentang depresi, kecemasan, burnout, hingga kelelahan mental mulai bermunculan dalam ruang-ruang publik olahraga.

Tekanan yang Tak Terlihat, Beban yang Tak Terucap

Menjadi atlet nasional bukan sekadar perkara kemampuan teknis atau kecepatan berlari. Banyak atlet muda yang bahkan belum menginjak usia 20-an, sudah membawa beban harapan satu bangsa. Ketika menang, mereka dielu-elukan. Namun saat gagal, mereka harus siap menerima cercaan, hujatan, bahkan cyberbullying.

Contohnya, saat timnas sepak bola Indonesia kalah dalam turnamen besar, komentar-komentar tajam membanjiri media sosial. Tak jarang, nama pemain muda yang baru debut langsung viral karena dianggap ‘biang kekalahan’. Di balik layar, mereka berjuang menyembunyikan tekanan luar biasa itu. Tanpa ruang untuk bicara, banyak dari mereka memendam rasa cemas dan rendah diri yang berkepanjangan.

Peran Jurnalis Perempuan yang Mengubah Arah Narasi

Dalam beberapa tahun terakhir, jurnalis olahraga perempuan mengambil langkah berani dengan menyoroti sisi humanis dari dunia atletik. Alih-alih hanya meliput skor akhir atau drama pertandingan, mereka mulai mengangkat cerita tentang burnout, trauma, dan krisis identitas yang dialami atlet.

Mereka menggunakan pendekatan yang lebih empatik dan inklusif. Sebuah wawancara dengan atlet tidak lagi sekadar soal taktik, tapi juga menanyakan, “Bagaimana perasaan Anda setelah pertandingan itu?” atau “Apa yang Anda lakukan untuk menjaga kesehatan mental di tengah jadwal yang padat?”

Pertanyaan-pertanyaan ini membuka jalan bagi para atlet untuk mengungkapkan sisi rapuh mereka, sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu atau bahkan lemah dalam kultur olahraga.

Edukasi yang Belum Merata

Salah satu tantangan utama dalam membicarakan kesehatan mental di kalangan atlet Indonesia adalah minimnya edukasi tentang pentingnya aspek psikologis dalam performa olahraga. Banyak pelatih, manajer tim, hingga ofisial federasi yang masih fokus pada latihan fisik dan strategi, namun lupa membekali atlet dengan pelatihan pengelolaan stres, konseling, atau dukungan psikologis jangka panjang.

Hal ini diperparah dengan adanya stigma negatif yang melekat pada masalah mental. Atlet yang mengaku mengalami kecemasan atau depresi bisa dianggap “tidak kuat”, “tidak cocok jadi atlet”, atau bahkan tidak profesional. Akibatnya, banyak atlet memilih diam dan menyembunyikan masalah mereka hingga terlambat mendapatkan bantuan.

Ketika Atlet Mulai Bicara

Beberapa atlet Indonesia mulai mengambil langkah berani dengan berbicara terbuka tentang pengalaman mereka melawan gangguan mental. Misalnya, seorang atlet bulutangkis nasional pernah mengungkapkan bagaimana dia merasa kehilangan motivasi setelah cedera panjang dan merasa tidak punya arah saat harus menepi dari dunia yang selama ini ia cintai.

Langkah-langkah ini sangat penting dalam membangun budaya “normalisasi” pembicaraan tentang kesehatan mental di dunia olahraga. Dengan berbagi cerita, mereka memberi sinyal pada atlet lain bahwa mereka tidak sendirian, dan bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan—melainkan bentuk kekuatan dan kesadaran diri.

Mengubah Sistem dari Dalam

Kampanye kesehatan mental tidak akan efektif tanpa dukungan dari struktur internal dunia olahraga. Federasi olahraga, klub, hingga sekolah atlet harus menyediakan akses terhadap psikolog olahraga, konselor, atau pelatihan pengelolaan stres.

Langkah kecil seperti menyisipkan sesi “mental coaching” dalam jadwal latihan atau menyediakan hotline psikologis untuk atlet bisa memberi dampak besar. Bahkan, keterlibatan jurnalis perempuan dalam menyuarakan pentingnya sistem pendukung ini sering kali menjadi pemicu awal perubahan dalam federasi olahraga yang sebelumnya enggan membahas isu ini.

Peran Media Sosial: Ruang Dua Wajah

Media sosial telah menjadi pedang bermata dua dalam isu kesehatan mental atlet. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi para atlet untuk menyuarakan isi hati mereka secara langsung kepada publik. Namun di sisi lain, komentar negatif dan tekanan dari publik bisa memperparah kondisi mental mereka.

Karena itulah, jurnalis memiliki tanggung jawab besar dalam membingkai narasi yang membangun, bukan sekadar sensasional. Ketika liputan lebih menonjolkan empati dan memahami kompleksitas kondisi atlet, maka publik juga belajar untuk bersikap lebih bijak.

Menuju Masa Depan yang Lebih Sehat

Diskusi soal kesehatan mental dalam dunia atletik Indonesia masih dalam tahap awal. Namun, dengan semakin banyak jurnalis yang berani menuliskannya, atlet yang bersuara, dan publik yang mulai sadar, harapannya dunia olahraga tidak lagi hanya tentang fisik yang prima, tapi juga mental yang sehat.

Kesehatan mental bukan sekadar tambahan, tapi bagian inti dari performa atletik yang optimal. Dan selama para jurnalis terus menjadi suara yang menyuarakan sisi tersembunyi dari lapangan, percakapan ini akan terus hidup, tumbuh, dan pada akhirnya, menyelamatkan banyak jiwa.